"dibuat dalam rangka mengikuti lomba online kisah Ramadhan 1432 H"
Aku adalah seorang remaja perempuan yang merupakan anggota dari pengurus keremajaan masjid di lingkungan rumahku. Beberapa hari lagi kami warga perumahan PGRI khususnya tempat dimana aku tinggal akan menyambut datangnya bulan nan suci bulan Ramadhan. Masjid Al-Hidayah adalah masjid yang kerap aku kunjungi bersama teman-teman remajaku yang lainnya. Seperti biasanya dalam menyambut hari-hari besar Islam kami akan mengadakan rapat untuk membentuk panitia hari besar Islam tersebut demikian juga dengan menyambut bulan Ramadhan tahun ini. Sore itu, ba’da ashar kami remaja dan remaji masjid Al-Hidayah berkumpul di teras masjid yang masih dalam keadaan belum berkeramik melainkan masih beralaskan tikar karet. Jangan dilihat dari jumlah kami yang sedikit yang hanya berkisar antara 6-8 orang, tapi lihatlah dari kemauan kami untuk meramaikan masjid tersebut dengan kegiatan islami.
Rapat dimulai. Ketua
membagi-bagikan tugas yang akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Aku kebagian
seksi konsumsi yang mengurusi takjil yang ada di masjid setiap sebelum waktu
berbuka puasa bersama beberapa rekan perempuan lainnya. Aku menerima tugas itu
dengan senang hati apalagi ada beberapa teman yang diitugaskan bersamaku
sehingga aku tak perlu takut. Setelah semua anggota dapat bagian masing-masing
akhirnya kami dibubarkan dan kembali kerumah masing-masing.
Hari ini hari pertama di bulan
Ramadhan.
Pada Ramadhan tahun itu aku masih mengenyam pendidikan di SMA N 1 Batam. Sepulang dari sekolah sekitar pukul 15.00 wib aku bergegas mempersiapkan segala sesuatu keperluanku dirumah karena nanti sore aku harus ke masjid untuk mengurusi takjil bagi orang-orang yang ingin berbuka puasa di masjid. Pukul 17.30 aku berangkat ke masjid, berharap teman-temanku sudah berada disana. Sesampai di masjid, tak ada seorangpun disana. Dimana teman-temanku yang mendapatkan tugas serupa denganku. Aku masih terus berharap akan kehadiran kedua orang temanku itu, tapi sudah ada beberapa bungkus takjil yang diantar oleh warga sekitar namun batang hidung mereka tak juga tampak.
Pada Ramadhan tahun itu aku masih mengenyam pendidikan di SMA N 1 Batam. Sepulang dari sekolah sekitar pukul 15.00 wib aku bergegas mempersiapkan segala sesuatu keperluanku dirumah karena nanti sore aku harus ke masjid untuk mengurusi takjil bagi orang-orang yang ingin berbuka puasa di masjid. Pukul 17.30 aku berangkat ke masjid, berharap teman-temanku sudah berada disana. Sesampai di masjid, tak ada seorangpun disana. Dimana teman-temanku yang mendapatkan tugas serupa denganku. Aku masih terus berharap akan kehadiran kedua orang temanku itu, tapi sudah ada beberapa bungkus takjil yang diantar oleh warga sekitar namun batang hidung mereka tak juga tampak.
Aku menghela nafas, aku coba
untuk tepat waktu tapi mana mereka. Mana teman-temanku. Mereka tak kunjung
datang ke masjid. Apa aku harus terus menunggu mereka tanpa ada hasil. Akhirnya
kuputuskan untuk mengambil inisiatif saja. Mengambil piring di ruangan belakang
masjid, membersihkannya, mengelapnya dan menyusun kue-kue takjil yang sudah
menunggu untuk ditata yang sedari tadi sudah di antar oleh ibu-ibu setempat.
Seiring aku menyusun kue, takjil-takjil pun terus berdatangan. Semakin banyak.
Aku takut waktu yang tersisa tak banyak lagi. Aku harus menyusun kue ke piring
dan aku juga harus menyambut orang yang berdatangan mengantar takjil tersebut
karena aku melakukan semuanya sendirian.
Sedari awal tadi aku seperti
orang yang ling-lung. Tak henti-hentinya aku menoleh-noleh kan kepalaku kekanan
dan kekiri mencari sosok kedua temanku yang lainnya. Kulihat jam tanganku yang
menunjukkan pukul 17.55 tapi kedua temanku itu seperti hilang ditelan bumi.
Beberapa saat kemudian timbul sesak di dadaku, kekesalan yang mulai memuncak,
dan tak terasa hangatnya air mata meleleh di pipiku. Mulai aku berfikiran yang
mengada-ada terhadap kedua temanku itu. Mengapa mereka tega membiarkan aku
sendirian mengurusi takjil. Padahal usiaku masih berada di bawah mereka. Apa mereka
tidak memikirkan kalau aku akan kesusahan menangani semuanya sendirian.
Kembali kulihat jam tanganku.
Pukul 17.57. Segera kutepis semua yang ada dalam pikiranku itu dan ke sela air
mataku yang bercucuran karena kecewa terhadap temanku karena semua itu tidak akan
menyelesaikan pekerjaan ini. Ku tata kembali semua kue yang baru bedatangan ke
atas piring dengan rapi, meletakkannya diatas meja, dan menutupnya agar tetap
terjaga kebersihannya.
Tidak ada orang yang datang lagi
mengantar kue. Semua kue telah tertata rapi di piring. Selesai ucapku dalam
hati. Beberapa orang yang ingin berbuka puasa di masjid sudah ada yang
berdatangan. Kulihat jam tangan lagi ternyata menunjukkan pukul 18.03. Walaupun
rasa kecewa yang kurasakan masih ada tapi aku sedikit lega karena aku telah
menyelesaikan semuanya. Ya semuanya. Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Dengan
sedikit tergesa-gesa aku takut kelewatan waktu berbuka. Syukurlah sesampai
dirumah baru terdengar suara adzan. Ibuku membawakan teh hangat ke ruang tamu
sehingga begitu masuk rumah aku langsung dapat berbuka tepat waktu.
Setelah berbuka dan suasana
tenang, aku menceritakan kekecewaanku akan teman-temanku kepada ayahku. Ayahku
adalah salah satu pengurus masjid al-Hidayah yang sudah cukup lama. Tak kuasa
aku menahan air mata sambil bercerita kepada ayahku. Sampai-sampai aku
mengungkapkan bahwa esok hari aku tak ingin lagi mengurusi takjil di masjid.
Ayahku cukup marah dengan
kata-kataku itu, ayahku tidak mau kalau aku tidak ikhlas melaksanakan tugas itu
terlebih ini tentang takjil di bulan Ramadhan. Beliau panjang lebar memberi
nasehat padaku malam itu. Jika semua dilakukan dengan ikhlas maka tidak ada
yang namanya sulit. Jika semua dilakukan dengan sabar tidak ada yang namanya
kecewa pada temanmu, yang ada seharusnya kamu senang karena temanmu memberikan
semua calon pahalanya secara cuma-cuma menjadi calon pahalamu. Yakin jika besok
kamu ikhlas tanpa terlalu mengharap kehadiran teman-temanmu itu pasti semuanya
akan baik-baik saja. Begitu nasihat ayah padaku yang hanya tertunduk menyesali
perkataanku sebelumnya.
Esok harinya dengan waktu yang
sama seperti hari sebelumnya yaitu 17.30 aku kembali berjalan kemasjid
Al-Hidayah. Suasana masjid tak jauh beda seperti kemarin, masih sepi. Sunyi.
Hanya ada beberapa bungkus takjil yang sudah datang sebelum kedatanganku yang
meminta cepat untuk dipindahkan ke piring. Kuambil piring dibelakang, kucuci,
lalu aku mengelapnya dan menaruh kue diatasnya. Ya masih sama seperti kemarin.
Hanya yang berbeda hari ini adalah aku tidak lagi menunggu kehadiran
teman-temanku itu dan aku tidak lagi ling-lung hari ini. Kusambut ibu-ibu yang
mengantar kue dengan senyuman, senyuman adalah ibadah. Bahkan hari ini waktu
seperti panjang sekali. Sepertinya waktu menungguku menyelesaikan pekerjaan
akhiratku ini.
Kulihat jam tanganku menunjukkan
pukul 17.50 tetapi semua kue sudah tertata rapi. Kulihat banyak debu di karpet
masjid dan ada sapu di pojok masjid. Kuputuskan untuk menyapunya terlebih
dahulu. Setelah itu aku pun menuju kerumah. Aku merasa hari ini lebih santai
bahkan banyak waktu tersisa. Aku juga berbuka bersama di ruang keluarga hari
ini, tidak diruang tamu lagi seperti kemarin.
Sampai dihari ke 30 di bulan
Ramadhan tahun itu aku menuntaskan tugasku sesuai dengan apa yang dirapatkan
sebelumnya. Benar kata ayah, bahwa aku harus ikhlas menjalani semuanya maka
semuanya akan lancar.
Kejutan terakhir disaat malam
idul fitri, ayah memberikanku amplop. Kubuka dan didalamnya berisi uang yang
cukup banyak untuk anak seusiaku. Aku bingung namun sebelum aku bertanya, ayah
sigap menjelaskan padaku. Ternyata itu adalah uang zakat yang diterima masjid
Al-Hidayah. Aku terhitung sebagai penerima zakat, posisiku adalah sebagai
fisabilillah yaitu orang yang berjuang dijalan Allah.
Alhamdulillah. Aku senang sekali.
Tapi ayah tetap berpesan kepadaku bahwa untuk tahun berikutnya aku harus lebih
ikhlas lagi dan jangan malah mengharapkan imbalan seperti uang zakat yang aku
terima sekarang. Semoga aku benar-benar menemukan keikhlasan di Ramadhan tahun
ini. Terima Kasih Ayahku.
No comments:
Post a Comment