Saturday, December 22, 2012

Senyum Manis Ridho

Cerpen terbit di Batam Pos Minggu, 28 Agustus 2011
Oleh Junaini Krisnawati

komen dari fb xpresi Batam Pos


“Pokoknya aku pasti bisa berbuat lebih daripada apa yang dilakukan sama Sisy” bentak Cici, gadis berambut lurus sebahu yang sedang kesal dengan seorang temannya bernama Sisy. Kemarahannya itu dilampiaskannya kepada seorang temannya yang kini juga berada di kamarnya tepat berdiri di sebelah kirinya. Teman di sebelahnya yang kerap di sapa Rere itu terus mengelus-elus pundak temannya yang sedang kesal itu. Sepertinya Rere mengerti dan hafal betul dengan sifat Cici yang gampang naik darah itu.

“Sudahlah Ci, apa gunanya kamu terus-menerus mengungkit masalah yang kecil itu,” Rere mulai memberanikan diri dan angkat bicara.
“Ngga bisa Re, Sisy itu udah melecehkan aku. Di mana harga diri aku, tadi di sekolah seolah-olah dia menjadi orang paling dermawan dengam memberi sumbangan panti asuhan lebih besar dari yang aku berikan,” Cici semakin menggebu-gebu. Mendengar hal tersebut Rere hanya menghela nafas panjang. Rere memang sudah lama bersahabat dengan Cici semenjak ia masuk SMA N 88 tahun lalu.
”Kalau tahu Sisi menyumbang 50.000, aku pasti bakalan nyumbang 100.000... huuufhh!” Cici masih sangat kesal karena merasa ada yang menyainginya untuk menyumbang ke panti asuhan. Kegiatan bakti sosial ini diadakan oleh sekolah mereka yang rutin setiap bulan Ramadan seperti sekarang ini.

”Ci, kita ngga boleh kayak gitu, harus ikhlas Ci. Bukan malah membanding-bandingkan apa yang disumbangkan,” Rere mencoba menasihati Cici. Rere tahu sebenarnya temannya itu memiliki hati yang baik. Satu yang perlu diperbaiki oleh Cici dari dirinya yaitu sifat irinya terhadap orang lain yang bertindak lebih darinya. Tapi Rere masih ingin berteman dan mengubah sifat temannya itu.

Tapi Cici masih saja kesal karena merasa disaingi oleh Sisy yang juga teman sekelasnya di sekolah. Cici dan Sisy memang terkenal tidak pernah akur di sekolah. Mereka selalu ingin menunjuk-nunjukkan kekayaan yang dimiliki orang tua mereka. Mereka selalu ingin jadi yang paling nomor satu di sekolah. Tapi disamping rasa irinya yang sangat besar karena persoalan kekayaan terhadap Sisy, Cici adalah murid yang pintar dan aktif di sekolahnya. Hhal itu yang membuat Sisy juga sebaliknya iri terhadap Cici karena Sisy adalah murid yang biasa-biasa saja di sekolah, tetapi memiliki orang tua yang bisa dibilang kaya.

***

”Suara terbanyak didapatkan oleh Cici. Selamat untuk Cici, suara terbanyak kedua diperoleh Sisy dan suara terbanyak ketiga diperoleh Rere. Jadi panitia kelas kita untuk bakti sosial ke panti asuhan ketuanya Cici, Sekretaris Sisy dan bendahara oleh Rere. Bagaimana yang lain setuju?” Penjelasan dari wali kelas XI IPA 3 mengenai pemilihan panitia untuk acara bakti sosial.

”Setujuuuu!” jawab murid-murid kelas riuh.
”Mengenai proposal kegiatan, ibu serahkan dulu kepada ketua setelah itu baru dibantu pengetikannya oleh sekretaris. Bagaimana Cici apa kamu tidak keberatan? Karena ibu pikir tata bahasa dan penulisan kamu cukup baik dalam pelajaran bahasa Indonesia.”
”Mmm...Saya tidak keberatan bu, saya malah senang dapat membantu lebih banyak,” jawab Cici seraya mengerlingkan matanya sinis  ke arah Sisy karena ia berhasil mengambil satu pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh Sisy.
”Tapi bu, posisi saya kan sebagai sekretaris. Jadi seharusnya saya yang mengerjakan proposal itu,” Sisy mulai protes dengan apa yang terjadi sambil berdiri dari tempat duduknya.
”Iya Sisy, tapi ini demi kelancaran acara dan agar tidak banyak revisi dari proposal jika dikerjakan langsung oleh Cici karena Cici sudah sering mengerjakan proposal di acara-acara sebelumnya. Ibu mohon pengertian dari kamu ya Sisy,” wali kelas mencoba menjelaskan baik-baik dan diakhiri dengan senyuman.
”Bbbaa baik bu,” jawab Sisy gugup sambil kembali duduk. Sisy tampaknya terpaksa merelakan bahwa wali kelasnya lebih simpatik terhadap Cici dibandingkan dirinya. Sisy meluncurkan pandangan tajam kapada Cici yang tepat duduk arah jarum jam 1 darinya. Tetapi Cici malah melayangkan senyuman yang sangat manis kepada Sisy.
”Selanjutnya, untuk bendahara ibu rasa sudah cocok dipegang oleh Rere, ibu mau nanti kamu mengambil uang hasil sumbangan kemarin ke kantor ibu ya Rere?” Sebelum sempat Rere menjawab perintah ibu wali kelas malah Sisy menyelanya.
”Tapi bu, bukannya yang lebih pantas memegang uang hasil sumbangan itu adalah saya bu, saya bisa menambahkan lagi sumbangan saya jadi lebih banyak, sedangkan Rere, ntar uangnya malahan berkurang bu. Kan Rere dari keluarga kurang mampu bu. Uppss maaf Re, aku keceplosan,” Sisy seperti biasanya yang selalu seenaknya bicara tanpa memikirkan akan ada yang tersinggung dengan perkataannya.
”Sisy!” bentak Cici seketika berdiri dari tempat duduknya. ”Kalau kamu mau ngomong tolong pikirkan dulu ya,  jangan sembarangan. Itu namanya kamu menuduh Rere yang bukan-bukan,” Cici tidak terima Sisy melecehkan temannya Rere dihadapan wali kelas dan teman-temannya. Rere hanya tertunduk meneteskan air matanya.
”Sudah, sudah,” ibu wali kelas mencoba mencairkan suasana. ”Sisy, yang dikatakan Cici itu benar. Jangan sembarangan bicara terlebih sekarang sedang bulan Ramadan. Ibu rasa Rere pantas menjadi bendahara. Bendahara bukan berdasarkan kemampuan dan kekayaanya kok, tapi Rere pantas karena Rere anak yang teliti dan amanah jadi dia dipercaya oleh teman-teman untuk menjadi bendahara di bakti sosial tahun ini. Rere nanti kamu ambil uangnya di kantor ibu ya?”
”Baik bu,” jawab Rere masih sambil tertunduk.

***

”Ci, kamu harus ikhlas ngerjain proposalnya ya. Ini proposal untuk kegiatan sosial loh Ci, jangan hanya untuk merasa menang di depan Sisy,” Rere mencoba untuk menasehati Cici.
”Iyaaa Ra, aku akan tetap mengerjakan proposal ini seperti proposal lain yang pernah aku kerjain tapi tetap aja kau juga merasa menang tadi di depan Sisy. Hahhaha.”
”Itu sama aja kamu gak benar-benar ikhlas ngerjainnya Ci, jangan seperti itu Ci.”
”Alaaahhh kau kok ribut banget sih Re, kamu gak senang liat temen kamu senang bisa menang di hadapan musuhnya ya?” Cici mulai kesal dengan tindakan Rere yang selalu mengingatkannya.

”Cici ? kamu nggak seperti biasanya, biasanya kamu gak pernah bentak-bentak aku,” kini kembali air mata Rere menetes di pipinya. Ia sedih dengan perlakuan Sisy yang tidak menyadari bahwa maksud Rere adalah baik untuk merubah sifat jeleknya.
”Rere, maafin aku. Aku gak maksud untuk bentak kamu. Tapi aku cuma mau kamu belain aku dong. Jangan mojokin aku terus Re.”
”Ci, aku gak tahu lagi gimana caranya buat ngilangin sifat iri kamu sama Sisy. Aku tahu kamu senang karena kamu menang di depan Sisy tadi di sekolah. Tapi aku, kamu gak liat aku? Aku kalah di depan Sisy, Ci!” Rere masih didalam isaknya.
”Apa jangan-jangan tadi kamu juga tidak ikhlas ngebelain aku di sekolah? Apa kamu terpaksa juga Ci, supaya kamu juga merasa menang di depan Sisy ? Iya kan Ci?” tangisan Rere semakin menjadi-jadi. ”Ini Ramadan Ci, bukannya memperbaiki sifat, kamu malah memperburuk diri kamu.”

”Rere, maafin aku. Aku tadi benar-benar ngebelain kamu kok Re. Aku ikhlas.” Cici coba menjelaskan kepada Rere agar tidak terjadi kesalahpahaman.
”Terus sekarang kamu kira aku gampang percaya sama kamu lagi setelah semua yang kamu lakuin. Kalau kamu bertindak kayak gini Ci kamu itu sama aja kayak Sisy yang suka iri juga sama kamu. Api jangan kamu balas dengan api Ci,” Rere masih berusaha untuk meyakinkan Cici.
“Kamu harus percaya sama aku Re, aku ikhlas ngebelain kamu. Aku tahu aku salah Re karena sebenarnya aku sama aja sama Sisy kalau aku ngebalas dengan rasa iri juga tapi aku ga bisa diem aja ngeliat kesombongan dia. Dia harus dikasih pelajaran.”
“Kamu benar, Sisy harus dikasih pelajaran tapi cara kamu salah Ci,” ungkap Rere seraya mengusap air mata di pipinya. “Aku sudah terlanjur nggak percaya lagi sama kamu Ci.”

“Re, plissss percaya sama aku, aku janji akan ngerjain proposalnya ikhlas, seikhlas ikhlasnya. Re aku akan kerjain sepenuh hati untuk kegiatan sosial sekolah kita bukan karena menang atas Sisy.” Rere yang tadinya tertunduk langsung mendongakkan kepalanya.
“Kamu harus janji ya Ci, tapi aku gak mau cuma di proposal kali ini aja. Kamu juga gak boleh ngebalas Sisy dengan kedengkian dan harus ikhlas untuk selanjutnya. Gak ada iri-irian lagi terutama sama Sisy, deal??” Rere mulai mempunyai harapan lagi untuk merubah sifat buruk Cici.
“Oke deal,” kata Cici sambil mengulurkan tangan menjabat tangan Rere. Lalu mereka tersenyum bersamaan.

***

Tiba saat hari kegiatan bakti sosial di Panti Asuhan Rhodatul Jannah. Murid-murid sibuk mengangkat sembako ke dalam mobil dan masih ada yang disibukkan dengan mengisi sejumlah uang yang sama jumlahnya ke dalam beberapa amplop untuk diserahkan juga pada saat bakti sosial. Setelah semuanya selesai, mereka siap berangkat ke panti asuhan tujuan mereka.
“Siap semuanya? Berangkat?” tanya Cici kepada semua teman-teman yang ikut.
“Berangakaaaat,” teriak seluruh teman-temanya, kecuali Sisy. Sisy masih iri dengan semua yang dilakukan Cici.

Sesampai di tempat tujuan, mereka mengangkat semua sembako ke teras panti asuhan setelah mendapat izin dari pengurus panti. Mereka menyusun sembako berjejer membentuk barisan. Masing-masing anak juga berjejer mewakili dan mengangkat satu sembako yang berjejer untuk diserahkan kepada anak-anak di panti asuhan, masing-masing satu paket sembako. Anak-anak di panti asuhan sudah mulai berjejer beberapa meter di depan sembako sebelum proses penyerahan yang akan diabadikan.
“Pokoknya aku yang barisan nomor lima,” serobot Sisy kepada semua teman-temannya terutama kepada Cici. “Jangan ada yang ambil ya aku nomor lima pokoknya, cowoknya manis tuh yang barisan itu. Hehehe jatahku itu, jangan asal ambil-ambil bagianku lagi ya Ci, seperti waktu kamu ngambil bagianku ngerjain proposal,” Sisy mewanti-wanti posisinya hanya karena ia tertarik dengan seorang anak lelaki yang akan mengambil sembako dideretan nomor lima.
“Sabar ya Ci, ingat janjimu sama aku. Api jangan dibalas dengan api. Okey?” Rere kembali mengingatkan Cici.
“Okey,” kata Cici sedikit menahan amarahnya dengan Sisy.

Semua murid diperintahkan untuk berbaris menurut sembako untuk bersama-sama menyerahkan kepada anak-anak panti. Sisy langsung menyerobot masuk ke barisan nomor lima. Begitu ramainya murid yang ingin berbaris, Cici dan Rere malah mendapat barisan yang paling terakhir.
“Re, sembako yang aku wakili belum tahu siapa yang nerima nihh, kok gak ada yang baris di depan aku?” Cici cemas.
“Tenang aja Ci, kerjain semuanya ikhlas, gak perlu seperti Sisy yang mengharap imbalan cowok cakep baru mau baris di barisan sembako, ya kan??” Rere seperti biasanya tetap mengingatkan Cici akan janjinya.
“Iya bener Re, aku harus belajar ikhlas,” jawab Cici sambil tersenyum simpul ke arah Rere.

“Pertama saya hendak mengucapkan terima kasih pada SMA N 88 yang bersedia memberikan kelebihan rezekinya kepada anak-anak yang membutuhkan di panti asuhan kami ini,” bapak pengurus panti asuhan tiba-tiba memberikan sepatah dua patah kata sebelum penyerahan sembako.
“Ridho, tolong untuk ambilkan kenang-kenangan di dalam panti dan letakkan di atas meja yang akan diserahkan ke SMA N 88, kepada yang lain untuk mengisi kekosongan di tempat Ridho. Setelah itu Ridho kamu dapat mengisi di barisan belakang.” Ternyata Ridho adalah anak yang berada dideretan sembako nomor lima, ia langsung keluar barisan dan masuk ke dalam panti. Tampak kekesalan di wajah Sisy karena anak yang akan menerima sembako darinya dialihposisikan ke anak panti lainnya. Setelah meletakkan kenang-kenangan di atas meja, Ridho langsung menuju barisan belakang, tepatnya di barisan Cici.
“Rere?” Cici memanggil Rere dengan suara berbisik sambil tersenyum simpul setelah mengetahui bahwa Ridho ada di depannya bukan di depan Sisy.
“Benar kan kita harus ikhlas?” Rere membalas senyum kepada Cici.

Tibalah saat pembagian sembako tersebut. Murid yang membawa sembako maju tiga langkah lalu diteruskan dengan anak-anak panti asuhan yang maju tiga langkah lagi. Kemudian setelah berhadapan mereka saling menyerahkan sembako dan menerima sembako itu. Begitu juga dengan Cici, ia juga menyerahkan sembako kepada Ridho.
“Makasih yaa,” kata Ridho sambil memberikan senyuman termanisnya.
“Sama-sama,” ucap Cici sambil tersipu malu karena menyadari ia mulai tertarik dengan senyuman Ridho yang manis, lalu menundukkan kepalanya.
“Berikutnya kami dari Panti Asuhan Rhodatul Jannah juga memiliki kenang-kenangan yang akan diserahkan kepada SMA N 88 yang tadi diambilkan oleh anak kami Ridho yang merupakan ketua dari anak-anak di Panti asuhan ini, Saya harap Ridho untuk maju lagi kedepan untuk menyerahkan kenang-kenangan secara simbolik. Saya mohon juga perwakilan dari SMA N 88,”  pengurus panti asuhan masih memimpin acara sedari tadi.
“Baiklah, kepada ketua panitia acara bakti sosial hari ini dipersilahkan untuk mewakili penerimaan kenang-kenangan tersebut. Kepada Cici silahkan nak,” kata wali kelas.

Cici kaget sekaligus senang karena ia kembali akan berhadapan dengan Ridho, Cici melangkahkan kakinya menuju Ridho yang sedari tadi sudah berdiri di depan teman-teman yang lain seraya memegangi kenang-kenangan. Setelah saling berhadapan Ridho mengulurkan kenang-kenangan tersebut lalu Cici mengambilnya.
“Makasih ya,” Cici berterimakasih persis seperti tadi Ridho mengucapkan terima kasih kepadanya tapi Cici tahu senyumannya tak semanis senyuman Ridho tadi.
“Sama-sama,” Ridho membalas senyumannya hampir sama manisnya dengan senyumannya yang perrtama tadi. Cici kembali menundukkan kepalanya sambil tersipu malu. Kini Cici benar-benar sadar bahwa ia benar-benar mengagumi senyuman Ridho.
“Cici liat kamera dong,” kata seorang guru yang ingin mengabadikan kegiatan tersebut.
“Baiklah Ridho dan Cici boleh kembali bersama teman-teman yang lain. Setelah ini semuanya bisa berbaur dan bisa berkeliling di sekitar panti untuk melihat-lihat,” kembali bapak pengurus panti menjelaskan jadwal selanjutnya.
Akhirnya semua murid dan anak-anak di panti saling sharing dan melihat-lihat situasi di panti asuhan. Cici sedang bersama Rere lagi melihat-lihat keadaan sekeliling panti.
“Re, makasih yaaa atas nasehat kamu selama ini, sekarang aku sudah bisa ikhlas dan ternyata itu akan menjadi lebih baik dari yang kita sangka,” ungkap Cici kepada Rere sambil menoleh ke arah kanan dan menemui sosok Sisy lalu Cici hanya tersenyum ikhlas kepada Sisy. Setelah itu Cici kembali menoleh ke arah kiri ia menemui sosok Ridho. Kemudian Cici hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Cici hanya bisa menghela nafasnya seraya berdoa semoga Ridho diberi kehidupan ke depannya semanis senyumannya. Ketika Cici mendongakkan kepalanya lagi, Cici masih melihat Ridho di seberang sana sambil membalas senyumannya tadi dengan manis.***

No comments:

Post a Comment